Home

DOUBLE GIRDER EOT CRANE 8 TON IMPROVEMENT

Leave a comment


A. Introduction

EOT (electrical overhead traveling) crane adalah salah satu alat angkat (lifting equipment) yang sangat penting yang berfungsi untuk melakukan material handling works di production area, workshop area, assembly area, power station area, warehouse area, dll. Jenis EOT crane ada dua yaitu ada yang single girder EOT crane dan ada yang double girder EOT crane. Pertanyaannya, bilamana menggunakan type yang single dan bilamana menggunakan type yang double?

Pemilihan single girder EOT crane:

  • Bisa mengangkat 1-15 ton dengan maximum travel speed 200 fpm = 60 mpm.
  • Bisa mencapai span maximum 50 ft = 15 meter dengan maximum lift 50 ft = 15 meter
  • Lebih mengarah kepada service ringan (light) sampai sedang (moderate) à standby crane (infrequently used)

 

01. Single Girder EOT Crane Picture 01: Single Girder EOT Crane with SWL 10 ton

 

Pemilihan double girder EOT crane:

  • Bisa mengangkat sampai 100 ton
  • Maximum travel speed bisa mencapai 100 mpm = 330 fpm
  • Service pemakaian mulai dari infrequently used, intermittent used sampai dengan continuous used

02. Double Girder EOT CranePicture 02: Double girder EOT crane with SWL 8 ton

 

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa “If crane wants to lift more than 15 ton or span is more than 15 meter, a double girder crane is a better solution”

Nah, kebetulan di tempat kerja (E&C workshop) ada terpasang satu EOT crane type double girder dengan SWL 8 ton (as showed in picture 02). Pemasangan EOT crane ini bertujuan untuk menunjang berbagai aktifitas proyek dalam material handling works seperti mengangkat fittings, flanges dan valves ke trucks (boom truck, dump truck, etc) untuk di mobilisasi ke setiap lokasi proyek, pumps maintenance, dll.

Singkat cerita, ketika dipasang pertama kalinya dan setelah lebih dari 3 tahun kemudian, EOT crane ini ternyata belum disertifikasi dan ternyata sudah terjadi kerusakan kecil dimana-mana yang harus membutuhkan improvement (perbaikan).

Akhirnya setelah dilakukan joint assessments oleh tim E&C, pihak vendor dan tim sertifikasi yang menyatakan bahwa perlu adanya perbaikan, dan kemudian setelah persetujuan para dewa langitan sebagai expenditure approvers, jadilah dilakukan pekerjaan improvement of double girder with SWL 8 ton. Dan karena pekerjaan ini hanyalah minor improvement, maka nilai pekerjaan ini tidaklah besar, yahhh paling nilainya < USD 25,000 dan dengan durasi yang ditawarkan hanya sekitar 2 minggu (Oct. 21 – Nov. 04, 2013 ). It’s OK dude.. 🙂

Walaupun nilai pekerjaan ini kecil tapi banyak hal yang dapat dipelajari yang tentunya akan menambah wawasan mengenai alat-alat angkat (lifting equipments).

 

Sedikit informasi mengenai specification of double girder EOT crane tersebut:

– Manufacturer : PT. xxx

– Equipment : Double girder EOT Crane

– Type : xxx

– Serial no. : xxx

– Crane classification : H2 B3 (DIN 15018)

 – SWL (safe working load) : 8 ton

– Span : 13,500 mm

– Max deflection : 14.2 mm (during lifted load)

– Weight : 10,400 ton

– Painting (finish) : Traffic yellow (RAL 1007)

– Main hoisting speed : 5/0,8 m/min

– Aux. hoisting speed : NA

– Cross travel speed: 20/5 m/min

– Long travel speed : 20/5 m/min

 – Power supply : 380 V / 3 # / 50 Hz

– Control voltage : 42 volts

– Enclosure : IP 55 / class F

– Year manufacturing : 2009

 03. Double Girder EOT Crane Picture 03: Double girder EOT crane’s nomenclatures (by http://www.PDHcenter.com)

04. EOT crane essential parameterPicture 04: EOT crane’s essential parameters (by www.PDHcenter.com)

 05Picture 05: Longitudinal conductor bar track of double girder EOT crane with SWL 8 ton

 05. Power bar arrangementPicture 06: Power bar arrangement (by http://www.PDHcenter.com)

 06Picture 07: Hoisting trolley conductor track of double girder EOT crane with SWL 8 ton

 

06. Hoisting trolley electrification

Picture 08: Hoisting trolley electrification (by www.PDHcenter.com)

 

B. International Standards of EOT Crane

Bicara tentang crane tentunya kita akan belajar banyak hal mengenai standar-standar internasional tentang spesifikasi crane dan penggunaannya seperti ASME (American Standard for Mechanical Engineers), CMAA (Crane Manufacturers Association of America)), HMI (Hoist Manufacturer’s Institute), ISO (International Organization for Standarization), CEN EN (European Committee for Standardization), BS EN (British Standard indicates harmonized standard), DIN EN (Deutsches Institut for Normung indicates harmonized standard), FEM (Federation Europeenne de la Manutention), and OSHA (Occupational Safety & Health Association)

Standard boleh berbeda-beda tetapi analisa dan perhitungan suatu crane tetaplah sama. Dan hampir semua international standard mengelompokkan crane duty groups yaitu mulai dari light duty work sampai dengan continuous heavy duty work. Pengelompokan ini penting juga untuk tata cara inspeksi crane, karena OSHA standard menerapkan persyaratan-persyaratan inspeksi berdasarkan crane duty groups.

Berikut adalah klasifikasi crane berdasarkan duty cycles sesuai dengan CMAA standard:

CMAA class

Berikut adalah klasifikasi crane berdasarkan electric hoist duty ratings sesuai dengan HMI standard:

07. HMI class

Berikut adalah klasifikasi crane berdasarkan load cycles sesuai dengan AISE (Association of Iron and Steel Engineers) standard:

– Service class 1 (N1)  : less than 100,000 cycles

– Service class 2 (N2)  : 100,000 – 500,000 cycles

– Service class 3 (N3)  : 500,000 – 2,000,000 cycles

– Service class 4 (N4) : over than 2,000,000 cycles

Kemudian AISE meng-klasifikasikan crane berdasarkan load classes:

– (L1)                           : crane which hoist the rated load exceptionally, and normally hoist very light loads

– (L2)                           : crane which rarely the rated load, and normally hoist loads about 1/3 the rated capacity

– (L3)                           : crane which hoist the rated load fairly frequently, and normally hoist loads between 1/3 to ½ the rated capacity

– (L4)                           : crane which are regularly loaded close to the rated capacity

Kemudian dibuatlah CMAA chart (bagan) berdasarkan load cycles dan load classes dari AISE standard tersebut diatas, sehingga:

FEM class

Untuk FEM standard, penentuan crane duty group berdasarkan beberapa faktor seperti:

  • Lifting/hoisting speed (v) : kecepatan angkat
  • Cycle per hour (N) : banyaknya pengangkatan (hoisting)/perjalanan (traveling) per jam
  • Average hoisting height (H) : tinggi angkat rata-rata dalam pemakaian per hari
  • Daily working hour (T) : apakah pemakaiannya 1 shift (8 jam) atau lebih
  • Operating condition : apakah penggunaannya untuk indoor atau outdoor, clean atau dusty, normal environment atau explosion proof, etc
  • Load attachment : apakah crane tersebut memakai magnet atau vacuum, biasanya untuk aplikasi ini membutuhkan FEM group class minimum 2M+

 

Dari beberapa faktor tersebut diatas, kemudian dapat mencari “average daily operating time”, yaitu sbb:

rumusDimana,

H         : (meter or feet)

N         : (cycle/hour)

T          : (hour)

v          : (meter/min or feet/min)

 

Dari average daily operating time, akan diperoleh FEM class of crane apakah crane tersebut light, medium, heavy atau super heavy.

 

Berikut adalah FEM class berdasarkan average daily operating time:

01

FEM class ini juga dapat menentukan berapa lama pekerjaan overhaul time untuk mechanical part-nya seperti bearing, seal, brake disk, brake lining, dll.

 

Berikut adalah perbandingan dari berbagai internasional standard yang sudah dijelaskan diatas:

International Standard Comparison

 

C. Inspection and Test of EOT Crane

Adalah sangat penting untuk melakukan inspeksi secara berkala terhadap kondisi pemakaian crane tersebut untuk mengetahui apakah ada kerusakan-kerusakan minor atau major sehingga bisa mengakibatkan penurunan terhadap crane’s performance.

Berikut, adalah hal-hal yang penting yang biasanya di check yaitu sbb:

  • Identifikasi crane’s structural (gantry, runway beam, bridge, girder, etc)
  • Identifikasi parts of crane (rail, bridge drive, trolley drive, trolley, hoist, hook, wire rope, gears, bearings, shafts, etc)
  • Identifikasi electrical function (cables, brake rectifiers, line contactors, limit switches, fuses, etc)
  • Identifikasi function of safety tools/devices (safety alarm, etc) dan deteksi potential safety poblems
  • Mengidentifikasi kemungkinan upgrade components/parts untuk meningkatkan performance of crane

 07. OSHA regulationsPicture 09: OSHA regulation for Crane Inspections (by http://www.PDHcenter.com)

 

Selain requirements dari OSHA ada juga inspection requirements yang dikeluarkan oleh ANSI yaitu tertuang di ANSI B30.2, B30.11, dan B30.17, dan tentunya juga merujuk kepada inspection requirements yang sudah diberikan oleh manufacturer.

Untuk load test of EOT crane, baik OSHA maupun ANSI (ASME B30.2) sama-sama menyatakan bahwa load test adalah 125% dari rated capacity. Seperti biasa, Indonesia adalah sebagai follower setia dengan menggunakan requirements yang sama untuk load test of EOT crane.

Di Indonesia sendiri, Dirjen Migas (Minyak dan Gas) telah mengeluarkan tata cara untuk inspeksi keselamatan kerja baik untuk instalasi (plant) maupun peralatan (equipment) yaitu KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI NO. 84.K/38/DJM/1998. Hal yang sama berlaku juga untuk Dirjen Minerba (Mineral dan Pertambangan) dan juga Dirjen EBTKE (Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi). Regulasi ini berlaku untuk semua instalasi dan peralatan yang akan dipasang (to be installed), sedang dipasang (being installed) dan telah dipasang (already installed).

Untuk tata cara inspeksi keselamatan kerja terhadap peralatan-peralatan (equipments) disebut dengan SKPP (sertifikasi kelayakan penggunaan peralatan – equipments worthiness certificate), dimana salah satunya adalah inspeksi keselamatan kerja untuk instalasi crane, baik yang mobile crane, fixed crane maupun over head crane. SKPP ini berlaku hanya untuk 3 tahun atau kurang jika mengalami perubahan atau diragukan kemampuan peralatan tersebut, setelah itu akan disertifikasi ulang. Sedangkan untuk tata cara inspeksi keselamatan kerja terhadap instalasi (plant) disebut SKPI (sertifikasi kelayakan penggunaan instalasi – installation worthiness certificate) yang berlaku sampai dengan 5 tahun atau kurang jika mengalami perubahan atau diragukan kemampuan instalasi tersebut.

 08. SKPP flow chartPicture 10: SKPP (equipments worthiness certificate) flow chart

 

Untuk mendapatkan sertifikasi SKPI suatu EOT crane, maka yang harus dilakukan adalah sbb:

  • Penelaahan dokumen (review documents):
  1. Technical specification
  2. Calculation
  3. Drawings
  4. Materials to be used (mill certificates)
  5. Specification of joints
  6. SOP, etc
  • Pemeriksaan fisik (physical inspection):
  1. Inspection of joints
  2. Inspection of moving and rotating parts
  3. Inspection of hydraulic/pneumatic/electrical system
  4. Inspection instrument/indicator functions
  5. Inspection of hook block, hook, wire rope, etc
  • Pemeriksaan persiapan pengujian:
  1. Tempat pengujian
  2. SOP pengujian
  3. Persiapan alat uji (load cell, beban uji à water bag, etc)
  4. Kesiapan operator yang sudah qualified
  • Pelaksanaan pengujian:
  1. Uji fungsi tanpa beban (functional test without load)
  2. Uji beban (load test) à load test = 125% of rated capacity
  • Pemeriksaan setelah pengujian

Pemeriksaan atas seluruh bagian-bagian yang terbebani baik yang bergerak maupun yang diam, untuk mengetahui kemungkinan adanya deformasi, retakan, baut-baut yang longgar, maupun cacat-cacat lainnya.

  • Rekaman hasil uji beban (records of load test results)
  • Pelaporan (reporting)

Menyusun seluruh hasil pemeriksaan teknis (dokumen-dokumen, pemeriksaan fisik, hasil pengujian) untuk diserahkan ke Direktur Jenderal EBTKE sebagai bahan evaluasi untuk menerbitkan SKPP (Sertifikat Kelayakan. Penggunaan Peralatan).

 

D. EOT Crane 8 Ton Improvement

Kembali ke laptop… Nah, ini dia scope of works untuk improvement-nya:

  • Replacement parts
  • Repainting surfaces
  • Functional test
  • Load test (witnessed by BKI and EBTKE)

Untuk menunjang aktifitas-aktifitas pekerjaan ini, maka owner dan main contractor mempersiapkan beberapa hal yaitu sbb:

  • Documents (PEP, HES Plan, PTW & JHA/JSA)
  • Scaffold materials and scaffolding team
  • ITP
  • QA/QC Inspectors
  • Supervisor

Sedangkan untuk sertifikasi maka yang harus dilengkapi adalah sbb:

  • Test certificate (2009)
  • Calculation reports à static calculation reports
  • Drawings
  • Mill certificates of all materials
  • QC inspection reports:
  1. Weld check joints by visual and NDT (x-ray)
  2. Blast cleaning & painting (primer coat and finish coat)
  • WPS/PQR (AWS D1.1 standard)
  • Welder certificates
  • Dan tentunya dokumen yang menyatakan finding yang akan di-repair sudah close (closed findings document)

 

Setelah OK semua, langsung injak gas dan eksekusi… Adapun step-step pekerjaan dari persiapan, eksekusi, pengetesan sampai dengan sertifikasi adalah sbb:

  • Check all items yg mau di repair

   → there are 10 items as per joint inspection by owner- vendor-BKI

  • Pastikan tim service dari vendor sudah siap bekerja dan dokumen-dokumen kerja sudah lengkap → ensure completeness of MCU, PPE & body harness, safety induction, working tools & devices, work permits, JHA/JSA, etc
  • Install portable scaffolding/hanging scaffolding

   → ensure scaffolding is ready to be used with green tag scaffold by scaffolding inspector

  • Do repair

   → by vendor team

  • Do inspection

   → inspect as per ITP

  • Pre-com and commissioning

   → functional test (electrical function, control & instrument function)

  • Load test

   → load test = 125% x SWL of crane = 1.25 x 8 ton = 10 ton

Note: Load test to be performed with minimum holding time 10 minutes, and the occurred deflection during holding time period not more than 14.2 mm

  • If all of them passed and OK, do completely reporting

   → submit to Dirjen EBTKE for SKPP certification

09. Install hanging scaffoldPicture 11: Install hanging scaffolding for repairing

10. Finish coatPicture 12: Finish coat completely with traffic yellow (RAL 1007)

11. Perform load testPicture 13: Perform load test by using water bag

 

12. load test recordPicture 14: Load test record (8 ton x 125% = 10 ton)

A LONG STORY OF PRE-STRESSED CONCRETE (PC) SPUN PILE

Leave a comment


A. Waiting for is a tedious job!!!

Bentulll… menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan! Karena saking lamanya progress pekerjaan civil & structure dalam konstruksi new steam power plant, mulai dari site clearing, survey, earth work, piling work & piling test, excavation work, foundation (footing & pedestal) work, back filling, steel structural work, stone masonry & retaining wall work, building & shelter work, road and drainage work, etc.. dan daripada menunggu kapan dimulai mechanical and piping works dan yang lebih gak enak lagi daripada diomongin makan gaji buta (ehehehe…), saya akhirnya melibatkan diri untuk membantu pengawasan (supervision) pekerjaan civil & structure, maklum berperan di dalam surveillance karena saya adalah sebagai pihak EPC owner/client yang mempekerjakan EPC contractor dengan sub-cont-nya di dalam konstruksi new steam power plant.

Tolong dicatat, sebagai client… 🙂

Dan yang paling menarik buat saya dari semua pekerjaan civil and structure adalah pekerjaan piling work and piling test. Sebenarnya ini bukanlah ilmu baru tapi buat saya yang awam dengan ilmu civil dan structure, sangatlah tertarik untuk mengetahuinya lebih lagi.

Pada proyek kali ini jenis pondasi tiang pancang yang digunakan adalah jenis spun pile atau nama kerennya pre-stressed concrete (PC) spun pile.

 01. Spun piles mobilization from Balikpapan to Sangatta sitePicture 01: Spun piles mobilization to project site

02. Stringing of spun piles at construction areaPicture 02: Spun piles are layed down closed to pile group location

B. Why should to use the pre-stressed concrete (PC) spun pile?

Ketika di project site, saya dengan terpaksa mulai rajin membaca buku-buku atau literature-literature mengenai pekerjaan pemancangan (piling work), dan bukan hanya sekedar mengetahui ilmunya secara basic, kemudian dari situ saya dapat informasi bahwa sebenarnya ada berbagai jenis material tiang pancang, yaitu sbb:

  • Tiang pancang kayu → primitive pile, in usage of this pile is limited to length and diameter.
  • Tiang pancang baja → corrosive pile against soil and water condition
  • Tiang pancang komposit → combination of steel with concrete, combination of concrete with wood, etc. Joints is as the weakness point..
  • Tiang pancang pra-cetak → mini pile types (triangle, square, octagonal)
  • Tiang pancang pra-tekan → has a high bearing capacity (daya dukung) and minimize any damage during mobilization and installation

Untuk pemilihan tipe tiang pancang yang akan digunakan didasarkan atas:

  • Berapa besar beban struktur atas (bangunan atas) yang akan dipikul/ditanggung → related with SAFETY FACTOR.
  • Bagaimana kondisi tanah dimana struktur atas (bangunan atas) akan didirikan, dan keandalannya/ketahanannya di dalam tanah → related with RELIABILITY.
  • Bagaimana akses dan kondisi lahan saat pengiriman (mobilization) & pengerjaan (construction) nanti → related with CONSTRUCTIBILITY.
  • Berapa biaya pondasi dibandingkan dengan struktur atas (bangunan atas) → related with COST.

Dari soil investigation report (August 2010) by third party diperoleh bahwa dari kedalaman 0 m to -10 m soil strata consist of stiff silty clay, dari -10 m to -20 m is very stiff silty clay, dan dari -20 m to -30 m is hard silty clay, dan kemudian dari soil investigation report tersebut direkomendasikan bahwa foundation type adalah pile foundation dengan tipe pre-stressed concrete (PC) spun pile untuk semua heavy structures seperti steam turbine + generator, boiler, cooling tower, fly ash silo, bed ash silo, ESP, chimney, dll.

Recommendations from soil investigation report (August 2010):

Driven concrete spun pile is going to be used for deep foundation of heavy structures and settlements sensitive for this area. Pile sizes to be used is not yet decided but it can be 400 mm, 500 mm and 600 mm in diameter with 75 mm, 90 mm and 100 mm wall thickness respectively.

Use minimum pile driving equipment with hammer weight of 35 kN or more for driving the pile with pile weight of 25 to 65 kN (pile diameter 400 mm and 500 mm) and required bearing capacity of 1,000 to 1,750 kN.

Use minimum pile driving equipment with hammer weight of 45 kN or more for driving pile with pile weight of 35 to 85 kN (pile diameter of 600 mm) and required bearing capacity of 650 kN to 2,000 kN.

03. Soil investigation by third partyPicture 03: Soil investigation by third party

Nah, dengan menggunakan pile foundation dengan tipe spun pile, ada keuntungan dan kerugian dalam konstruksi pile ini yaitu sebagai berikut:

Keuntungan:

  • Kualitas beton terjamin karena dibuat di pabrik yang sudah disertifikasi, dan kita bisa melakukan inspeksi (FAT) terhadap spun pile yang kita pesan.
  • Bisa mencapai daya dukung tanah yang paling keras.
  • Selain daya dukung tanah dari ujung tiang juga daya dukung dari sekeliling selimut tiang.
  • Daya dukung akan sangat kuat karena penggunaan konfigurasi kelompok tiang pancang
  • Harga relative murah dibanding pondasi sumuran

Kerugian:

  • Proses pemancangan menimbulkan getaran dan kebisingan, lebih cocok untuk konstruksi di remote area yang jauh dari keramaian penduduk.
  • Mobilisasi dan demobilisasi membutuhkan banyak trailer dan membutuhkan service crane dalam assembly (perakitan).
  • Untuk pemakaian dengan volume yang kecil tentu akan menimbulkan cost yang lebih mahal.

C. Bearing capacity

Ada 2 komponen daya dukung (bearing capacity) tanah yang dialihkan oleh pondasi tiang pancang yaitu daya dukung selimut sepanjang tiang dan daya dukung ujung tiang. Gesekan sepanjang selimut tiang terjadi karena perlawanan geseran antara selimut tiang terhadap tanah disekelilingnya. Sedangkan tahanan ujung terjadi karena desakan ujung tiang terhadap tanah disekitarnya.

04. Mekanisme pengalihan bebanPicture 04: The occurred loads during piling of spoon pile (by: Tomlinson, 2001)

Dari gambar diatas diperoleh persamaan untuk daya dukung ultimate tiang pancang yaitu sbb:

QU = QP + QS – WP

dimana:

QU = daya dukung ultimate

QP = daya dukung ujung tiang (point load)

QS = daya dukung selimut tiang (shear load)

WP = berat tiang pancang

Karena pada umumnya kontribusi berat tiang pancang (WP) sangatlah kecil maka komponen ini biasanya diabaikan, sehingga persamaannya menjadi:

QU = QP + QS

Sedangkan untuk memperoleh daya dukung ijin pondasi tiang pancang terhadap beban aksial (QA) yaitu sbb:

aa

atau

aaa

dimana:

SFS = safety factor untuk selimut tiang (shear factor)

SFP = safety factor untuk ujung tiang (point factor)

Untuk menentukan berapa besar nilai SF tergantung dari beberapa faktor yaitu sbb:

  • Jenis dan besar beban struktur atas (bangunan atas)
  • Kondisi tanah dimana struktur atas (bangunan atas) akan dibangun/didirikan
  • Tingkat kehandalan penyelidikan geoteknik (soil investigation)

 

D. Piles configuration

Daya dukung (bearing capacity) setiap tiang pancang adalah faktor terpenting dalam perencanaan pondasi tiang pancang. Dalam menentukan daya dukung tiang pancang, penting juga untuk memperhatikan jarak antar tiang pancang karena suatu plant (dalam hal ini steam power plant) umumnya memiliki keterbatasan terhadap luas lahan yang akan digunakan, sedangkan jarak tiang pancang yang terlalu dekat juga akan menimbulkan interakasi antar tiang pancang yang dapat mengurangi kapasitasnya.

Jarak antar tiang pancang sangat bervariasi, tapi kebanyakan peraturan civil mensyaratkan jarak optimal minimum adalah 2D dan jarak optimal maksimum adalah antara 2.5D ÷ 3D.

Rekomendasi dari hasil soil investigation disebutkan bahwa untuk axial group effects jarak antara tiang pancang adalah antara 2.5D ÷ 3D, sedangkan untuk lateral group effects adalah lebih kecil dari 4.5D, dengan masing-masing reduction factor setiap tiang pancang tidak lebih kecil dari 0.7.

Efisisensi kelompok tiang pancang (E) didefenisikan seperti berikut:

aaaa

Adapun efisiensi kelompok tiang pancang dipengaruhi oleh hal-hal berikut ini:

  • Jumlah tiang pancang, diameter, panjang dan jarak antar tiang pancang
  • Interaksi setiap tiang pancang dalam satu grup terhadap keadaan tanah
  • SOP pelaksanan konstruksi tiang pancang, seperti bagaimana urutan-urutan instalasi tiang pancang
  • Jangka waktu setelah pemancangan

05. Spun pile configuratiosPicture 05: Spun pile configurations at site (top view)

06. Spoon pile configurationPicture 06: Spun pile configurations (by: Tomlinson, 2001)

E. Spun pile driving equipment

Untuk pemancangan tiang pancang dengan spun pile type, EPC contractor menggunankan diesel hammer machine. Sistem kerja diesel hammer machine adalah dengan pemukulan tiang pancang spun pile dengan hammer secara kontinu hingga mencapai titik keras maksimum yang penurunannya tidak significant lagi.

Efek yang kemudian ditimbulkan oleh penggunaan diesel hammer machine adalah suara keras (noisy), getaran (vibration), dan polusi udara (pollution) pada daerah sekitarnya. Inilah salah satu penyebab cara pemancangan ini berdampak tehadap lingkungan sekitarmya.

Umumnya pile diving equipment menggunakan crane tipe crawler untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan kendala akan kondisi lapangan yang buruk saat konstruksi. Nah, untuk memobilisasi pile driving equipment (pile rig) ini ke lokasi kerja membutuhkan 5 trailer bahkan lebih, seperti untuk memobilisasi prime mover, wheeler, lattice boom, boom-leaders, compressor package, dll. Dan perakitannya bisa 3 sampai 4 hari tergantung situasi dan kondisi cuaca di lapangan.

Crawler crane dengan SWL minimum 50 ton sangatlah dibutuhkan selama proses perakitan pile rig ini di lokasi kerja. Setelah selesai dirakit kemudian akan dilakukan final inspection terhadap semua kualitas sambungan dengan menggunakan PT/MPT methods untuk memastikan apakah sudah siap/layak pakai dan kemudian dilakukan color code terhadap crawler crane tsb.

07. Pile rig assembling Picture 07: Pile rig assembly

08. Pile rig assemblingPicture 08: Pile rig assembly

Sesuai dengan rekomendasi dari soil investigation report maka untuk masing-masing diameter of spun pile, dipilih piling hammer untuk masing-masing diameter yaitu sbb:

– Spoon pile Ø 400 mm                                   → 3.5 – 4 ton

– Spoon pile Ø 500 mm                                   → 4.5 – 5 ton

– Spoon pile Ø 600 mm                                   → 6.3 ton

 

F. Spun pile driving work sequences

Berikut adalah step-step pekerjaan untuk spun pile driving hingga kondisi final set:

  1. Survey each spun pile positions as per AFC drawings (ensure first that each spun pile materials already marked in every 1.0 m)
  2. Ensure pile rig (crawler crane type) & diesel hammer ready to be used and move it to the point position of spoon pile
  3. Lift the first spun pile (for bottom pile) and insert the spun pile head to hammer cap
  4. Put the spun pile into the pile position (as per survey based on AFC drawings)
  5. Check the alignment of spun pile from two perpendicular directions.
  6. If OK, commence spun pile driving work by lifting piston hammer.
  7. During spun pile driving work, the number of blows and depth of penetration should be recorded and verticality of pile should be controlled continuously.
  8. After driving work, ensure the bottom segment is 450 mm above ground, the top segment will be aligned vertically from both directions.
  9. Do spun pile welding joints as per the approved WPS/PQR (AWS D1.1) and as per approved manufacturer procedure.
  10. Spun pile’s welding joints shall be checked by NDT (dye penetrant test method) and will be approved by owner inspector.
  11. Pile driving activity will be continued until achieve the design depth as per AFC drawing
  12. The final set should be checked before completion of the work
  13. Piles heave shall be checked after driving pile group finish
  14. Cut spun piles until to the required length for next step of foundation and clean the concrete piles
  15. Final inspection by Civil Inspector

09. Spun piles drivingPicture 09: Spun pile driving (step 6-7-8)

10. Weld jointPicture 10: Welding joint of spun piles (step 9-10)

11. Cut the pun pilesPicture 11: Cut spun piles to the required length (step 13-14)

G. Acceptance criteria

The pile driving acceptance criteria should be based on the following:

  1. Drive the pile to target level as defined by the nearest boring logs or pile test results
  2. If the pile comes to refusal above target level, continue driving until a blow count of 100 blows/250 mm penetration or final set of 25 mm/10 blows. The pile is then required to be driven for “final setting” in 2 times, without any reduction in the driving resistance. If the resistance is not maintained at 25 mm/10 blows it is judged that the hard layer is thin and the pile is liable to break through this layer. Therefore, the pile should be driven further to the target level.

 

H. Load Test

Sebelum fase konstruksi dimulai, sudah direncanakan di dalam desain bahwa beberapa tiang pancang dari berbagai lokasi pondasi heavy equipments akan dilakukan uji pembebanan. Pada umumnya jumlah pengujian tiang pancang adalah 1% dari jumlah tiang pancang.

Tujuan dari uji pembebanan adalah untuk memberikan konfirmasi actual dari asumsi-asumsi yang diambil sewaktu tahap perencanaan (desain) apakah sudah sesuai atau apakah perlu modifikasi desain lagi.

Ada 2 metode pengujian pondasi tiang pancang yang dilakukan:

  • Uji pembebanan static → vertical static load test
  • Uji pembenanan dinamik → PDA (pile driving analysis) test

Metode uji pembebanan statik adalah untuk mengetahui daya dukung tiang pancang disepanjang selimut dan ujungnya, serta mengetahui daya dukung ultimate (ultimate bearing capacity). Pada umumnya beban runtuh tidak dicapai pada saat pengujian.

Uji pembebanan ini sangatlah mahal dan membutuhkan waktu yang lumayan lama. Tapi karena uji pembebanan ini tidaklah sedikit dan juga sangatlah penting, maka harus dilakukan secara terencana dan bisa menjadi critical path dalam master plan suatu project. Untuk beban pengujian bisa sebesar 200% hingga 300% dari beban kerja, ini tergantung keperluan untuk verifikasi dan optimasi. Sedangkan rekomendasi dari hasil soil investigation adalah 400% dari beban kerja.

Biasanya pengujian dilakukan setelah 7 sampai 28 hari tiang pancang uji dipancang untuk memungkinkan tanah yang telah terganggu kembali ke keadaan awal. Sedangkan rekomendasi dari hasil soil investigation menyebutkan pengujian dilakukan minimum 21 hari setelah tiang pancang uji dipancang.

Berikut rekomendasi-rekomendasi dari hasil soil investigation untuk pengujian statis (vertical static load test):

The tests should follow ASTM D1143 and ASTM D3689 procedure. The test should be

carried out on minimum of 2 (two) of the first piles. This will enable an early evaluation

and make it possible to verify weather the pile system actually complies the contractor’s

specifications. The pile load testing program should consider the following:

  • The load shall be applied to the test pile by a hydraulic jack acting against a reaction beam, which is anchored by two or four reaction piles or loaded platform with concrete blocks. Reaction pile or counter loads and hydraulic jack each should have a capacity of minimum 4 times the pile design load.
  • Vertical movement of the test pile and reaction piles are measured using at least 3 dial gauges, each having a 50 mm travel and be accurate to 0.01 mm. The dial gauges should be supported independently from the test pile and reaction piles.
  • During test loading, read dial gages at 0, 1, 2, 5, 10, 15 and 30 minutes after each load increment, and 30 minutes intervals thereafter with max. 2 hours. Optical readings shall be taken on the reaction of anchor piles as well as the test pile before each load increment is changed. During 24 hours hold, readings may be taken every 3 hours after the first 2 hours.
  • Pile loading test shall be performed minimum 21 days after pile driving.

12. Pile load test using hydraulic jack acting against weighted boxPicture 12: Vertical static load test method (by ASTM D1143-1994)

13. Static load test preperationPicture 13: Vertical static load test preparation

14. First dayPicture 14: First day of vertical static load test

15. Second daysPicture 15: Second days of vertical static load test

Hasil dari vertical static load test, kemudian akan akan di interpretasikan untuk menentukan berapa besarnya beban/daya dukung ultimate (QU). Ada berbagai metode yang sering dipakai sebagai metode interpretasi untuk penngujian ini yaitu sbb:

  • Chin method
  • Davisson method
  • Mazurkiewicz method

Sama dengan metode uji pembebanan statik, metode uji pembebanan dinamik adalah untuk mengetahui daya dukung (bearing capacity) statik tiang pancang yang kemudian akan di-compare terhadap daya dukung rencana (design).

Prinsip kerja pengujian adalah sebagai berikut:

  • Prepared the top of the pile head, prior to testing, by grinding the concrete surface to a smooth and flat condition.
  • Drilled and plugged the concrete test pile in order to attach two strain transducers and two piezo-electric accelerometers to the pile shaft at a distance of 1.5 to 2.0 times the pile diameter below pile head.
  • The instrument then is connected to the PDA Collector computer by an insulated multi-wire cable. The PDA computer should be located some distance away from the instrumented test pile
  • Dynamic measurements then are obtained from the strain transducers and piezo-resistive accelerometers by striking the pile head on four separate occasions using a driving hammer as a drop weight. Each blow should be cushioned by a purpose made plywood packer placed directly on top of the smooth pile head.
  • Analog signal from transducers be conditioned, digitized, stored and processed by PDA. Selected output from PDA typically included values such as:
  • The measured force and calculated maximum stress
  • Transferred energy to the pile
  • Calculated ram stroke
  • Static pile capacity and others
  • The selected PDA outputs then is imposed as an input to the CAPWAP (Case Pile Wave Analysis Program) analysis and trial values is assigned for all soil model parameters.

Sedangkan rekomendasi-rekomendasi dari hasil soil investigation untuk pengujian dinamik (PDA test) adalah sebagai berikut:

  • Detail procedures of PDA Test, apparatus to be applied, analysis, and reporting shall be in accordance with the requirement of ASTM D4945.
  • The PDA test and analysis should be minimum performed 4 points for this project.
  • Perform PDA immediately minimum 21 days after pile driving in two time for the same pile.
  • The hammer for pile dynamic analysis should be warmed up before re-drive begins by applying at least 20 blows to another pile. The maximum amount of penetration required during re-drive should be 152.4 mm (6 inches) or the maximum total hammer blows required will be 50, whichever occurs first.

16. PDA testPicture 16: PDA test method (by ASTM D4945-2000)

17. PDA test schematic and outputPicture 17: PDA test schematic and output

I. References:

  1. ASTM D1143-1994 (Standard test method for piles under static axial compressive load)
  2. ASTM D4945-2000 (Standard test method for high strain dynamic testing of piles)
  3. The geotechnical investigation report for 3 x 18 MW CFPP Project, Sangatta, East Kalimantan (August 2010)
  4. Pile Driving work Methodology of 3 x 18 MW CFPP Project, Sangatta, East Kalimantan (August 2011)
  5. Manual Handling of Pre-stressed Concrete spun pile of 3 x 18 MW CFPP Project, Sangatta, East Kalimantan (August 2011)
  6. Pile static load test work methodology of 3 x 18 MW CFPP Project, Sangatta, East Kalimantan (August 2011)
  7. PDA test work methodology of 3 x 18 MW CFPP Project, Sangatta, East Kalimantan (Dec 2011)
  8. Internet